TIMES MADIUN, MALANG – Pendidikan adalah proses pembelajaran untuk mendewasakan peserta didik yang sangat kompleks sistematis melalui kurikulum yang diterapkan dalam satuan pendidikan yang berguna untuk menggali potensi peserta didik, baik dalam ranah spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana tujuan pendidikan yang telah dipaparkan di atas, maka untuk mewujudkannya para pendidik atau tenaga pengajar mengemban tugas yang sangat berat dalam proses pembelajaran. Konsistensi sikap disiplin dan rasa tanggung jawab dalam proses pembelajaran sangat dibutuhkan, maka sangat diperlukan metode-metode atau tindakan-tindakan preventif, salah satu metode tersebut adalah pemberian hukuman atau punishment dalam satuan pendidikan yang bertujuan untuk membersamai proses pembelajaran agar tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan. Adapun proses pemberian hukuman harus sesuai dengan kesalahan anak didik dalam melanggar tata tertib satuan pendidikan.
Sebelum memberikan hukuman perlu kiranya para pendidik mensosialisasikan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang pra-pembelajaran terhadap peserta didik, dengan tujuan ketika melanggar ketentuan atau tata tertib satuan pendidikan, maka akan diberikan sanksi. Sedangkan tujuan dari hukuman tersebut bukan merupakan hal-hal negatif yang disematkan terhadap peserta didik, melainkan pemberian hukuman bertujuan untuk memberikan pembelajaran agar nilai kedisiplinan bisa menjadi prinsip dasar dalam meraih kesuksesan di masa depan, khususnya dalam pendidikan.
Menyitir pendapat Gary Gore –dilansir oleh Muhammad Fauzi- bahwa anak didik tidak boleh mendapat didikan dengan rasa ketakutan. Pembinaan sebaiknya tidak bersifat paksaan-paksaan yang tidak mereka pahami. Ketika seorang pendidik yang ingin memaksakan kehendaknya kepada anak didik, secara tidak sadar sedang mengajarkan bahwa kebenaran itu (harus dikerjakan) bersifat paksaan. Efek negatif dari kekerasan yang diterima anak didik adalah mereka tidak melakukan pelanggaran karena didasari rasa takut akan pukulan, bukan terlahir dari kesadaran dalam diri mereka, sementara sifat buruknya akan tetap bersemayam dalam dirinya. Pukulan tidak membawa kebaikan –mungkin sedikit- bahkan merugikan, sedangkan rasa sakit akan merasuk ke dalam memori pikirannya. Namun sayangnya, masih ada pendidik sampai detik ini berfikiran bahwa anak didik harus belajar dengan diiringi pukulan, padahal anak didik yang sering menerima kedisiplinan yang keras sebenarnya berusaha memerankan anak yang baik di depan mata orang lain, sementara jiwanya bertolak belakang.
Di sisi lain hukuman-hukuman yang diberikan oleh para pendidik kepada peserta didik seringkali dikaitkan dengan hak asasi manusia, lebih-lebih bagi para orang tua dari peserta didik yang kurang memahami proses pembelajaran yang harus ditempuh dengan penuh kesabaran, kerja keras, dan patuh terhadap aturan-aturan yang ada. Mirisnya, ada sebagian orang tua sampai tega hati melaporkan para pendidik terhadap pihak yang berwajib, dengan alasan hukuman yang diberikannya tidak sesuai dengan hak asasi manusia dan terkesan menyiksa para peserta didik. Hal ini biasanya sering terjadi di kalangan orang tua yang selalu memanjakan buah hatinya.
Oleh karena itu, dalam proses pemberian hukuman dalam dunia pendidikan menuai pro dan kontra dalam pengaplikasiannya. Pihak yang mendukung beralasan hukuman hanya sebagai langkah terakhir jika telah melalui beberapa tahapan-tahapan yang lain dalam proses pembelajaran peserta didik, sedangkan pihak yang kontra, beranggapan hukuman selayaknya tidak diberikan terhadap peserta didik dikarenakan jiwa mereka masih labil belum matang cara berfikir dikarenakan masih tahap proses pembelajaran. Jika tetap dihukum, hukuman akan menimbulkan trauma yang sangat dalam terhadap jiwa dan pikiran peserta didik ke depannya.
Dari latar belakang yang sudah dipaparkan, maka penulis ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan penjelasan di atas, sekurangnya ada dua pertanyaan yang penulis ajukan: Bagaimana pemberian hukuman terhadap anak didik di lembaga pendidikan perspektif Islam? Dan Apakah pemberian hukuman terhadap anak didik di lembaga pendidikan perspektif Islam sesuai dengan HAM?
Pengertian Hukuman
Dalam bahasa Arab, hukuman dapat diistilahkan dengan kata “iqab” yang berarti “balasan” sebagaimana dalam Q.S. Al-Anfal 8/13:
ذلك بِأَنَّهُمْ شَاقُّواْ الله وَرَسُولَهُ وَمَن يُشَاقّ الله فَإِنَّ الله شَدِيدُ العقاب
Artinya: “(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menetang Allah dan Rasul-Nya, Maka sesungguhnya Allah amat keras siksaannya”.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa kata “iqab” ditujukan kepada balasan dosa sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia.
Istilah lain dari iqab dalam pendidikan Islam adalah tarhib yaitu ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah. Dengan kata lain tarhib adalah ancaman dari Allah yang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa takut pada para hamba-Nya dan memperlihatkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan ilahiyah, agar supaya mereka selalu hati-hati dalam bertindak serta melakukan dan kedurhakaan. Baik iqab dan tarhib pada dasarnya ‘satu nafas’ yaitu sebagai hal yang kurang mengasikkan yang diperoleh seseorang akibat kesalahan yang telah ia perbuat.
Hukuman secara definisi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai siksaan dan sebagainya, yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar undang-undang, sedangkan dalam bahasa Inggris, dikenal dengan istilah “punishment”. Secara terminologi, hukuman adalah sebuah cara paling terakhir yang diberikan untuk mengarahkan sebuah tingkah laku peserta didik agar sesuai dengan tingkah laku yang berlaku sesuai dengan norma yang berlaku dalam suatu lingkungannya.
Sedangkan menurut pendapat para pakar pendidikan, pengertian hukuman (punishment), sebagai berikut:
Amien Danien Indrakusuma, hukuman adalah tindakan yang dijatuhkan kepada anak secara sadar dan sengaja sehingga menimbulkan nestapa, dan dengan adanya nestapa itu anak akan menjadi sadar akan perbuatannya dan berjanji di dalam hatinya untuk tidak mengulanginya.
Suwarno, hukuman adalah memberikan atau mengadakan nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasainya untuk menuju kearah perbaikan.
Abdullah Nashih Ulwan, hukuman ialah memberi pelajaran baik bagi si pelaku ataupun orang lain, semua itu adalah sebagai cara yang tegas dan tepat untuk memperbaikinya.
Berdasarkan pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa adanya hukuman disebabkan karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik. Pemberian hukuman yang dimaksud ialah memberikan suatu hukuman yang tidak menyenangkan yang mengandung unsur pendidikan, dengan tujuan agar peserta didik tersebut jera dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan yang melanggar konvensi-konvensi pendidikan, sehingga anak itu benar-benar taubat, sadar kemudian berusaha untuk memperbaiki perilaku-perilakunya yang tidak mencerminkan sifat terpuji.
Hukuman Menurut Pendidikan Islam
Nabi Muhammad SAW. berwasiat kepada umatnya, ketika muncul suatu permasalahan maka rujuklah kepada al-Quran dan al-Hadist agar kita tidak akan tersesat dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Pada hakikatnya sifat manusia terdapat nilai baik dan buruk. Seperti kita ketahui dengan janji Allah swt. yang telah tertera di dalam kitab suci-Nya, “barangsiapa yang berbuat baik balasannya surga dan barangsiapa yang berbuat jelek atau kemungkaran maka balasannya neraka”. Secara logika dari statemen seperti itu, istilah hukuman tidak bisa dihilangkan dalam subtansi pendidikan karena hukuman selalu beiringan dengan hadiah (reward). Hadiah berfungsi sebagai memotivasi minat belajar peserta didik yang telah berprestasi sedangkan hukuman sebagai tindakan preventif peserta didik yang telah melanggar tata tertib pembelajaran dan minim terhadap minat belajar. Jika salah satu dihilangkan maka proses pembelajaran dalam satuan pendidikan tidak akan berjalan sebagaimana semestinya yang diharapkan, dikarenakan hadiah dan hukuman adalah suatu rangkaian atau kesatuan yang tidak bisa dipisahkan (sunnatullah).
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Zalzalah ayat 7 dan 8:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ، وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”
Menurut Al-Ghazali, hukuman ialah suatu perbuatan dimana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmani dan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.
Hukuman adalah jalan yang paling akhir apabila teguran, peringatan dan nasehat-nasehat belum bisa mencegah anak melakukan pelanggaran.
Pemberian hukuman dengan cara memukul adalah cara terakhir, setelah anjuran, peringatan dan lain-lain. Tata cara yang tertib ini menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan metode yang lebih keras jika yang lebih ringan sudah bermanfaat, sebab pukulan adalah hukuman yang paling berat dan tidak boleh menggunakannya kecuali tidak ada jalan lain.
Abdurrahman Shaleh Abdullah, Islam mengenal tiga kategori hukuman yaitu hudud, qishas dan ta’zir. Adapun dalam pembahasan ini, hukuman yang dimaksud ialah yang bersifat edukatif terhadap peserta didik. Maka dari itu hukuman haruslah mengandung unsur pendidikan baikdiputuskan oleh hakim ataupun yang dilakukan orang tua dan para pendidik terhadap anaknya, ini kepentingan si pelaku maupun masyarakat umum.
Abu Hasan al-Qabasyi, berpendapat bahwa seorang guru jangan menerapkan hukuman pukulan sehingga anak didik memperoleh adab (pendidikan) yang bermanfaat baginya. Kemarahan seorang guru tidak akan dapat menyembuhkan kemarahannya dengan memukul dan tidak pula menyenangkan hatinya dengan kekerasannya. Hukuman demikian tidaklah adil dimata anak didiknya. Ibnu Sachnun, menyarankan agar jangan memukul kepala atau muka anak, karena membahayakan kesehatan otak dan merusak mata atau berbekas buruk pada muka, sebaiknya pukulan hukuman diberikan kepada kedua kakinya, karena kali lebih aman dan lebih tahan untuk pukulan.
Tujuan Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
Tujuan pemberian hukuman pada dasarnya adalah menginginkan adanya penyadaran agar anak didik tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.
Pada bagian ini penulis akan memaparkan beberapa tujuan pemberian hukuman dalam pendidikan Islam menurut para pakar, sebagai berikut:
Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, setidaknya ada dua tujuan yang terkandung dalam memberikan hukuman:
a. Hukuman diberikan karena adanya pelanggaran.
b. Hukuman diberikan dengan tujuan-tujuan positif.
Sedangkan menurut Kartini Kartono, tujuan hukuman dalam pendidikan ialah :
1) Untuk memperbaiki individu yang yang bersangkutan agar menyadari kekeliruannya, dan tidak akan mengulanginya lagi.
2) Melindungi pelakunya agar dia tidak melanjutkan pola tingkah laku yang menyimpang, buruk dan tercela.
3) Sekaligus juga melindungi masyarakat luar dari perbuatan dan salah (nakal, jahat, asusila, kriminial, abnormal dan lain-lain) yang dilakukan oleh anak atau orang dewasa.
HAM Perspektif Islam
HAM pada hakikatnya merupakan hak moral dan bukan hak politik. Oleh karenanya, seseorang bisa hidup meski tanpa adanya organisasi politik, seperti yang terjadi pada komunitas nomaden dan pemburu, yang sampai kini masih bisa dijumpai di sejumlah tempat yang terisolasi. Terdapat berbagai definisi tentang HAM ini, baik dalam konteks akademik murni maupun dalam konteks penyesuaian dengan filosofi atau ideologi suatu negara. Salah satu di antaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh A.J.M. Milne yang dilansir oleh Masykuri, yakni:
gagasan bahwa ada hak-hak tertentu yang, apakah diakui atau tidak, menjadi milik seluruh umat manusia sepanjang waktu dan di semua tempat. Ini adalah hak-hak yang mereka miliki hanya dalam sifat mereka menjadi manusia, terlepas dari kebangsaan, agama, seks, status sosial, jabatan, kekayaan, atau perbedaan karakteristik etnis, kultur atau sosial lainnya.
Sedangkan dalam Islam sendiri, dari para ulama serta intelektual dan aktivis Muslim hampir semua mereka setuju dengan istilah hak-hak asasi manusia (HAM) ini, meskipun konsep yang mereka kemukakan tidak sepenuhnya sama dengan konsep liberal. Penerimaan ini disebabkan karena essensi dari HAM ini sudah diakui oleh Islam sejak masa permulaan sejarahnya. Di dalam Al-Quran dan Hadits disebutkan bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di atas bumi, yang dikaruniai kemuliaan dan martabat yang harus dihormati dan dilindungi. Di antara ayat Al-Quran yang menunjukkan hal ini adalah Q.S. Al-Isra’: 70, yakni “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam ...”. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia secara fitrah (natural) memiliki kemulian (karamah) dan oleh karenanya kemulian ini harus dilindungi. Di antara Hadits yang menunjukkan persamaan umat manusia dan penghormatan martabat mereka adalah “Manusia pada dasarnya adalah sama dan sederajat bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atas orang non-Arab kecuali karena ketaqwaannya”.
Dalam persepektif Islam, konsep HAM itu dijelaskan melalui konsep maqâshid alsyarî’ah (tujuan syari’ah), yang sudah dirumuskan oleh para ulama masa lalu. Tujuan syari‘ah (maqâshid al-syarî’ah) ini adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) umat manusia dengan cara melindungi dan mewujudkan dan melindungi hal-hal yang menjadi keniscayaan (dharûriyyât) mereka, serta memenuhi hal-hal yang menjadi kebutuhan (hâjiyyât) dan hiasan (tahsîniyyât) mereka”.
Teori maqâshid al-syarî’ah tersebut mencakup perlindungan terhadap lima hal (aldharûriyyât al-khamsah), yakni: (1) perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), yang mengandung pengertian juga hak beragama, (2) perlindungan terhadap jiwa (hifzh alnafs), yang mengandung pengertian juga hak untuk hidup dan memperoleh keamanan, (3) perlindungan terhadap akal (hifzh al-‘aql), yang mengandung pengertian juga hak untuk memperoleh pendidikan, (4) perlindungan terhadap harta (hafizh al-mal), yang mengandung pengertian juga hak untuk memiliki harta, bekerja dan hidup layak, (5) perlindungan terhadap keturunan (hifzh al-nasl), yang mengandung pengertian juga hak untuk melakukan pernikahan dan mendapatkan keturunan. Sebagian ulama menyebutkan perlindungan terhadap kehormatan (hifzh al-‘irdh) sebagai ganti hifzh al-nasl, yang mengandung pengertian hak untuk memiliki harga diri dan menjaga kehormatan dirinya.
Eksistensi kemuliaan manusia (karamah insâniyyah) akan terwujud dengan perlindungan terhadap lima hal tersebut. Tujuan syari’ah (maqâshid al-syari’ah) tersebut diperkuat dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang meliputi ‘adl (keadilan), rahmah (kasih sayang), dan hikmah (kebijaksanaan) baik dalam hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan alam. Para ulama dan intelektual Muslim kemudian mengembangkan konsep tersebut dengan berbagai hak sebagaimana yang terdapat dalam Deklarasi HAM tersebut, terutama: (1) hak untuk hidup, (2) hak kebebasan beragama, (3) hak kebebasan berpikir dan berbicara, (4) hak memperoleh pendidikan, (5) hak untuk bekerja dan memiliki harta kekayaan, (5) hak untuk bekerja, dan (6) hak untuk memilih tempat tinggal sendiri.
Dari paparan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM sejatinya selaras dengan nilai-nilai keislaman –tidak menafikan perbedaan pendapat dalam tubuh Islam-, dengan tujuan memuliakan manusia setinggi-tinggi, sekalipun dalil yang dijadikan pijakan masih bersifat universal bukan partikular, namun sekurangnya HAM sendiri masih mendapat pengakuan dalam diri Islam.
Pemberian Hukuman Terhadap Anak Didik di Lembaga Pendidikan Perspektif Islam
Pemberian hukuman sebagai alternatif terakhir merupakan cara sederhana untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ditetapkan. Hukuman ini pun memiliki hirarki tarsonomi yang harus ditaati, sekurangnya ada tiga jenjang pemberian hukuman dalam perspektif Islam: 1. Memberikan nasehat, 2. Adanya bentuk pengabaian, 3. Hukuman berupa fisik.
Hirarki ini didasari oleh Ayat al-Qur’an –bersifat universal- yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat an-nisa’ ayat 34:
واللاتى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ واهجروهن فِى المضاجع واضربوهن فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
Artinya: “Wanita yang kamu khawatirkan nusyusnya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.”
Sekalipun ayat ini terkhusus untuk didikan suami terhadap istri, namun spirit yang dibangun dalam ayat ini –hemat penulis- sangat sesuai sekali dengan hukuman dalam pendidikan Islam, sekurangnya ada dua kesamaan antara istri dan anak didik yaitu dari segi butuh didikan dan keduanya merupakan amanah dari sang ilahi.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang suami diperkenankan memperbaiki pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh istrinya yang serong dengan laki-laki lain (nusyus). Tahapan paling awal, adalah dengan memberikan nasehat dengan cara dan pada waktu yang tepat. Merujuk kembali kepada ayat di atas, beberapa istri sudah cukup merasa bersalah dengan cara teguran dan nasehat ini, tetapi ada juga yang tidak. Maka diberikan alternatif hukuman berikutnya, yaitu dengan bentuk ‘pengabaian’. Dimana Allah memerintahkan untuk memisahkan para isteri yang melanggar aturan tersebut, dengan tidak mempedulikan atau mengabaikannya. Suami hendaklah memisahkan diri dari isterinya, menghindarinya secara fisik dan membelakanginya ketika tidur di pembaringan. Itulah yang dimaksud hukuman pengabaian.
Setelah tindakan pengabaian tak juga membawa hasil, barulah terakhir menginjak ke tahapan fisik. Hal ini pun Allah perbolehkan dijadikan sebagai tahapan akhir, dengan catatan bahwa pukulan yang diberikan tidaklah sampai membekas, yang berarti pukulan itu tidaklah terlalu keras dan tidak terlalu menyakitkan. Demikian pula terhadap anak apabila melakukan pelanggaran baik menyangkut norma agama maupun masyarakat. Usaha pertama yang dilakukan adalah dengan lemah lembut dan menyentuh perasaan anak. Jika dengan usaha itu belum berhasil maka pendidik bisa menggunakan hukuman pengabaian dengan mengabaikan atau mengacuhkan anak didik. Jika hukuman psikologis itu belum juga berhasil maka pendidik bisa menggunakan pukulan mendidik.
Selain dalil al-Qur’an dalam hadist pun dijelaskan terkait tahapan dalam pemberian hukuman, diriwayatkan dari Abu Daud dan al-Hakim meriwayatkan dari Amr bin Syu’ aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. Bersabda:
مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر سنين وفرقوا بينهم فى المضاجع
Artinya: “suruhlah anak-anakmu melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan pukullah mereka jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.”
Berdasarkan ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa orang tua boleh saja memberikan hukuman kepada anaknya, sebagai alat pendidikan dan sifatnya edukatif. Walaupun demikian hukuman adalah jalan terakhir yang ditempuh orang tua untuk mendisiplinkan anaknya, setelah tahap pemberian nasehat, bimbingan, larangan, teguran, peringatan dan ancaman telah diterapkan.
Dari paparan di atas maka penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pemberian hukuman dalam pendidikan Islam sebagai tindakan edukatif berupa perbuatan orang dewasa atau pendidik yang dilakukan dengan sadar pada anak didiknya dengan memberi peringatan dan pelajaran kepada peserta didik atas pelanggaran yang telah diperbuat sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai keIslaman. Sehingga anak didik menjadi sadar dan menghindari segala macam pelanggaran dan kesalahan yang tidak diinginkan atau dengan berhati-hati dalam setiap melakukan perbuatan.
Pemberian Hukuman Terhadap Anak Didik di Lembaga Pendidikan Perspektif Islam Sesuai HAM
Seringkali pemberian hukuman terhadap anak didik di lembaga pendidikan dikait-kaitkan dengan HAM, diframing bahwa hukuman yang dilakukan pendidik terhadap peserta didik tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Perlu bedakan antara kekerasan dan didikan, kekerasan bersifat menyakiti, sedangkan didikan bersifat mendidik. Pemberian hukuman terhadap peserta didik perspektif Islam tidak lain ialah hukuman yang bersifat edukatif.
Sebagaimana yang disampaikan oleh pakar Islam dalam bidang pendidikan terkait penerapan hukuman mendidik anak. Hukuman yang harus bersifat edukatif adalah pemberian rasa nestapa pada diri anak didik akibat dari kelalaian perbuatan atau tingkah laku yang tak sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungan hidupnya misalnya di sekolah, di dalam masyarakat sekitar, didalam organisasi sampai meluas kepada organisasi kenegaraan atau pemerintahan.
Menyitir pendapat Muhammad Fauzi, bahwa ada beberapa contoh sanksi mendidik yang sekaligus dapat dipergunakan oleh para pendidik untuk memberikan hukuman kepada peserta didik yang melanggar tata tertib pembelajaran. Sanksi-sanksi ini merupakan contoh sanksi mendidik yang tidak terlalu beresiko, sebagai berikut:
a. Bermuka Masam
Seorang guru dapat saja kadang-kadang bermuka masam di hadapan anak didiknya jika mereka berbuat kegaduhan, atau terhadap anak yang melakukan kesalahan dan melanggar peraturan. Tentu ini lebih baik daripada memukul atau menendang si anak, dengan cemberut atau bermuka masam secara psikologis sudah memukul perasaannya dan membuatnya malu dengan kawan-kawannya yang lain.
b. Menegur
Pada waktu anak melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan alangkah lebih mendidiknya bila seorang guru menghukumnya dengan menegur. Menegur disini dimaksud adalah dengan kata-kata baik dan tertuju kepada dia yang melakukan kesalahan, bisa juga berbentuk kata-kata agak keras akan kelakuan yang salah yang dilakukannya.
c. Melarang Mengikuti Pelajaran
Melarang mengikuti pelajaran adalah hukuman yang ringan dan mendidik, misalnya ada anak yang terlambat datang ke sekolah, dia dihukum untuk tidak boleh ikut belajar pada jam pertama. Ini bentuk hukuman yang lebih menyentuh dan memberikan kesadaran jika ini tetap dilakukan dia akan rugi dengan sendirinya.
d. Tidak Menyapa
Dengan segala kemungkinan yang dimiliki seorang pendidik, ia hendaknya berpaling dari anak atau muridnya pada saat ia mengetahui anak atau muridnya itu berdusta atau melakukan kesalahan. Dengan guru berpaling, siswa akan merasa ia telah melakukan kesalahan.
Hal ini semua sama sekali tidak bertentangan dengan HAM, bahkan berjalan harmoni dengan Hak Asasi Manusia, yang salah satu di dalamnya ialah Hak Berpendidikan. Terlepas dari praktik para pendidik yang tidak mencerminkan Islam yang hakiki dalam pemberian hukuman di lembaga pendidikan, maka penulis menyimpulkan bahwa pemberian hukuman terhadap anak didik di lembaga pendidikan perspektif Islam, tidak bertentangan bahkan sesuai dengan Hak Asasi Manusia.
Dari penjelasan di atas bisa ditarik benang merah, bahwa pemberian hukuman dalam pendidikan Islam sebagai tindakan edukatif berupa perbuatan orang dewasa atau pendidik yang dilakukan dengan sadar pada anak didiknya dengan memberi peringatan dan pelajaran kepada peserta didik atas pelanggaran yang telah diperbuat sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai keIslaman. Sehingga anak didik menjadi sadar dan menghindari segala macam pelanggaran dan kesalahan yang tidak diinginkan atau dengan berhati-hati dalam setiap melakukan perbuatan.
Pemberian hukuman sama sekali tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, bahkan keduanya ‘satu nafas’, yang ingin memenuhi Hak Berpendidikan Terlepas dari praktik para pendidik yang tidak mencerminkan Islam yang hakiki dalam pemberian hukuman di lembaga pendidikan, maka penulis menyimpulkan bahwa pemberian hukuman terhadap anak didik di lembaga Pendidikan perspektif Islam, tidak bertentangan bahkan sesuai dengan Hak Asasi Manusia. (*)
***
*) Oleh: Musta'in Romli, Pengabdi di Ma'had Aly Nurul Jadid dan Mahasiswa pascasarjana UIN Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |