TIMES MADIUN, PADANG – Media massa Indonesia sedang hangat membicarakan terkait dengan kasus video porno yang beredar di masyarakat dan diduga salah satu artis muda Indonesia. Penting untuk diingat bahwa pornografi merupakan topik yang sensitif; bisa menjadi kontroversial; dan bagian dari industri yang kompleks dan ada berbagai perspektif mengenai dampaknya.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pornografi dapat menjadi bentuk ekspresi seksual yang sah, sementara yang lain berpendapat bahwa itu dapat memperkuat stereotip dan merugikan hubungan interpersonal.
Dalam konteks tubuh perempuan dan pornografi, banyak konten pornografi telah menggambarkan tubuh perempuan secara objektif. Beberapa masalah yang terkait dengan pornografi melibatkan perempuan merupakan adanya eksploitasi karena harus terjerumus ke dalam industri pornografi mungkin terlibat dalam pekerjaan tersebut karena tekanan ekonomi, penindasan, atau keadaan yang memaksa.
Lalu, misalnya, adanya keterpaksaan atau ketidaktahuan perempuan untuk difoto atau direkam sehingga hal tersebut sama saja dengan pelecehan terhadap perempuan. Semua perempuan memiliki hak untuk dihormati dan tidak dijadikan objek seksual sehingga tercipta lingkungan yang aman dan adil bagi perempuan.
Dalam pandangan filsuf eksistensialisme Simon de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul The Second Sex (2011), perempuan sering diperlakukan sebagai objek seksual dalam budaya patriarki. Beauvoir (2011) menentang pandangan bahwa perempuan secara inheren adalah objek seksual bagi laki-laki.
Ia menyoroti pemahaman bahwa perempuan sering dibentuk oleh pandangan maskulinitas yang dominan masyarakat. Menurut Beauvoir, perempuan sering dihadapkan pada ekspektasi dan norma yang mengharuskan mereka untuk memenuhi keinginan seksual laki-laki. Ini dapat mengarah pada pengabaian atau pengekangan kebebasan seksual perempuan.
Beauvoir juga mengkritik pornografi dalam konteksnya yang memperkuat dominasi maskulinitas dan menyebabkan objektifikasi perempuan. Ia berpendapat bahwa pornografi menjadikan perempuan sebagai objek dan alat untuk memuaskan keinginan seksual laki-laki yang tentunya bertentangan dengan pembebasan perempuan.
Dalam pemikiran Beauvoir, perempuan penting untuk memperoleh otonomi seksual mereka sendiri dan mengambil kendali atas tubuh dan seksualitas mereka. Ia menekankan pentingnya membebaskan diri dari ekspektasi gender yang membatasi dan menekan perempuan dalam masyarakat. Beauvoir berpendapat bahwa perempuan harus diberdayakan untuk menjalani seksualitas mereka dengan cara yang mereka pilih, bukan sebagai objek objektifikasi seksual.
Pandangan Beauvoir tentang perempuan, seksualitas, dan pornografi menyoroti pentingnya kesetaraan gender, pembebasan perempuan dari peran yang telah ditetapkan, dan perlunya masyarakat yang menghargai dan menghormati otonomi perempuan dalam hal seksualitas mereka. Dalam hal tersebut, Beauvoir mengungkapkan bahwa perempuan memiliki hak atas tubuh dan seksualnya, tetapi tidak dijadikan objek.
Begitu pula dalam hukum di Indonesia. Undang-undang nomor 44 tahun 2008 tentang pornografi sudah menyebutkan secara jelas bahwa tindakan membuat dan menyebarkan konten porno merupakan tindakan pidana. Jika diproses secara hukum, pelaku pembuat atau penyebar video tersebut bisa dipenjara atau juga dikenai denda.
Lalu, dalam hukum pornografi pasal 6, disebutkan bahwa tindakan pembuatan atau produksi video dewasa dilarang. Namun, Pasal 4 Ayat 1 UU Pornografi menjelaskan bahwa pembuatan film porno tidak akan melanggar hukum jika dilakukan untuk kepentingan pribadi dan semua pihak yang terlibat telah memberikan persetujuan. Sangat penting untuk dicatat bahwa persetujuan harus menjadi dasar dari pembuatan tersebut.
Jika pembuatan film porno dilakukan tanpa persetujuan dari satu pihak, hal tersebut dianggap sebagai tindakan melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana. Jadi, pihak wanita dan pria yang terlibat dalam adegan tersebut harus saling mengetahui dan menyetujui rekaman video tersebut.
Tanpa persetujuan, salah satu pihak akan kehilangan haknya. Tidak adanya persetujuan saat pembuatan film porno dapat menyebabkan penyebaran video tersebut. Ketika tidak ada persetujuan, pembuatan dan penyebaran film porno tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Banyak kasus penyebaran film porno terjadi karena tidak adanya persetujuan dalam pembuatan film tersebut. Wanita sering menjadi korban dalam kasus ini karena mereka cenderung berada dalam posisi yang lebih lemah dalam pembuatan film porno.
***
*) Oleh: Roma Kyo Kae Saniro, Dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Irfan Anshori |