TIMES MADIUN, JAKARTA – Situasi hak asasi manusia di Korea Utara dilaporkan semakin memburuk. Menurut laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ada warga yang bahkan dieksekusi hanya karena mendistribusikan film dan serial asing, termasuk drama Korea (K-drama).
Dikutip dari BBC, laporan ini disusun oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) dan dirilis pada pertengahan September 2025. Dalam laporan tersebut, Pyongyang disebut menerapkan aturan, kebijakan, dan praktik baru yang memperketat pengawasan serta kontrol terhadap warganya.
Korea Utara memang dikenal sangat keras menindak masuknya pengaruh budaya Barat maupun arus informasi dari luar negeri.
Tahun lalu, menurut Kementerian Unifikasi Korea Selatan, seorang warga berusia 22 tahun dieksekusi secara terbuka setelah ketahuan mendengarkan dan menyebarkan musik K-pop serta film asing. Eksekusi serupa disebut kerap terjadi, meski jarang terekspos dunia internasional.
OHCHR menyusun laporan ini berdasarkan wawancara dengan 314 saksi yang berhasil keluar dari Korea Utara, serta konsultasi dengan sejumlah organisasi dan pakar yang menilai kondisi HAM di negara tersebut sejak 2014.
Temuan menunjukkan banyak warga dijebloskan ke kamp kerja paksa sebagai tahanan politik, yang justru semakin menambah penderitaan rakyat. “Kami memiliki bukti kredibel bahwa eksekusi dilakukan, bukan hanya karena menonton K-drama. Kejahatannya adalah menyebarkan informasi dan media asing dalam skala tertentu,” kata juru bicara OHCHR, Liz Throssell.
Selain itu, laporan juga menyoroti keberadaan “shock brigades”, yaitu regu kerja paksa yang melibatkan ribuan anak yatim dan anak jalanan. Mereka dipaksa bekerja di tambang batu bara maupun lingkungan berbahaya dengan jam kerja panjang. Pemerintah Korea Utara menyebutnya sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran keterampilan hidup, tetapi OHCHR menegaskan praktik ini masuk kategori kerja paksa karena anak-anak tidak memiliki pilihan.
Kematian di kamp kerja paksa disebut sering terjadi, namun dipublikasikan pemerintah sebagai bentuk pengorbanan bagi pemimpin. Para pelarian Korea Utara juga melaporkan bahwa sejak 2020, semakin banyak eksekusi dijatuhkan atas berbagai tuduhan, mulai dari distribusi media ilegal, narkoba, pelanggaran ekonomi, prostitusi, pornografi, hingga perdagangan manusia dan pembunuhan.
Sejak 2015, Korea Utara mengesahkan enam undang-undang baru yang memungkinkan penggunaan hukuman mati untuk pelanggaran yang didefinisikan secara samar sebagai “propaganda anti-negara”. Eksekusi publik pun digelar untuk menanamkan rasa takut di tengah masyarakat.
“Untuk menutup mata dan telinga rakyat, mereka memperketat penindakan,” ungkap salah satu saksi.
Kepala HAM PBB, Volker Türk, menegaskan bahwa kondisi ini menunjukkan semakin memburuknya situasi HAM di Korea Utara seiring dengan isolasi yang mereka pilih sendiri. “Jika DPRK terus berada di jalur ini, rakyatnya akan terus mengalami penderitaan, represi brutal, dan ketakutan yang sudah terlalu lama mereka tanggung,” katanya.
Sementara itu, pemerintah Korea Utara menolak laporan ini dan menegaskan tidak mengakui resolusi Dewan HAM PBB yang menjadi dasar penyusunannya. (*).
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Laporan PBB: Warga Korea Utara Dieksekusi karena Sebarkan Drakor
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |