TIMES MADIUN, BANTUL – Tempe telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia. Selain bergizi, harga tempe juga sangat terjangkau oleh sebagian besar masyarakat kita.
Makanan berbahan dasar kedelai yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda ini saat ini tak hanya disantap sebagai lauk, tapi juga bisa diolah menjadi beragam olahan termasuk sebagai camilan pendamping minum kopi atau teh hangat.
Salah satu olahan tempe adalah keripik tempe sagu. Kuliner kreasi olahan dari bahan tempe warga Imogiri ini khas. Renyah, dan bergizi.
Ruang penggorengan keripik tempe sagu yang masih menggunakan kayu bakar. (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Dan menyambut Hari Tempe nasional yang diperingati setiap 6 Juni, TIMES Indonesia pada Selasa (20/5/2025), berkunjung ke pabrik pengolahan camilan keripik tempe sagu di Dusun Sungapan, Kalurahan Sriharjo, Kapanewon Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Saat baru saja memasuki ruangan produksi pabrik tempe sagu milik Bu Mariyah, aroma khas tempe yang sedang digoreng menyambar hidung membuat otot perut langsung berdenyut dan rasanya ingin segera mencicipi kripik tempe sagu yang terlihat tipis dan pasti renyah itu.
Dapur tempat menggoreng keripik tempe sagu berada di bagian paling belakang dari dua bangunan yang berdempetan. Bangunannya masih sangat sederhana.
Ruang pendinginan tempe sebelum dipotong menjadi keripik tempe sagu. Ruangan pendinginan dibantu oleh beberapa kipas angin agar suhu ruangan terjaga dari kelembaban. (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Namun dari kesederhanaan inilah, keripik tempe sagu produksi "Imogiri Jaya" milik Bu Mariyah (50 thn) telah menembus pasar ekspor, mulai dari Malaysia, Korea, Hong Kong, hingga Singapura.
Ruangan produksi keripik tempe sagu milik Bu Mariyah tidak terlalu besar. Di ruang penggorengan yang masih menggunakan kayu bakar, enam wajan besar berjejer mengepulkan asap.
Wajan wajan besar itu berisi irisan irisan keripik tempe sagu yang tipis dan warnanya mulai menguning, matang. Bahan bakarnya kayu mahoni berukuran besar besar di bawah tungku batu.
Masing-masing wajan penggorengan dijaga satu perempuan yang bertugas sebagai penggoreng keripik tempe sagu.
Di tengah ruangan, seorang ibu sibuk mengiris tempe dengan mesin pemotong. Hanya alat pemotong itulah satu satunya alat yang terlihat modern, sedangkan yang lainnya masih dilakukan dengan cara tradisional.
“Kalau pakai mesin, potongannya bisa presisi, kalau ngiris pakai tanga nada yang ketebalan dan kadang ada yang ketipisan” ujar Bu Mariyah.
Bangkit dari Kegagalan
Sebelum merintis pabrik keripik tempe sagu 'Imogiri Jaya', Bu Mariyah bekerja sebagi buruh di pabrik pakaian dalam di Bantul.
Jiwa wirausahanya terpanggil ketika melihat kerabatnya sukses berjualan keripik tempe. Dari situlah, ia mulai mencoba menjajakan keripik tempe sagu dengan cara kulakan pada saudaranya.
Mungkin karena mempunyai bakat dagang, dagangan keripik tempe Mariyah laris. Pesanan datang silih berganti, bahkan keripik tempe sagu miliknya ia kirim hingga ke Jakarta. Semakin hari semakin banyak pesanan yang masuk pada Bu Mariyah.
Namun ketika stok dari kerabatnya tak lagi mencukupi, Mariyah memutuskan untuk memproduksi sendiri. Tahun 2011 Bu Mariyah mulai mencoba membuat keripik tempe sagu sendiri dengan modal 500 ribu, ia mencoba membuat keripik tempe sagu dari satu kilogram kedelai.
“Saat itu uang 500 ribu sudah bisa beli kedelai, sagu, dan minyak buat menggoreng, termasuk beli plastik kemasan,” ujar Bu Mariyah. Percobaannya membuat keripik tempe sagu sendiri ternyata gagal tapi Bu Mariyah tidak menyerah. Berkali-kali mencoba, hingga akhirnya menemukan formula bumbu dan teknik penggorengan yang pas.
“Awalnya cuma bisa produksi 1 kg, lalu naik jadi 5 kg, terus bertambah,” katanya.
Kini, "Imogiri Jaya" dibantu 15 karyawan dan sudah bisa memproduksi hingga 250 kilgram per hari, dengan omzet harian mencapai 8 juta rupiah. Usaha Bu Mariyah yang bangkit dari kegagalan pertama menjadikan produksi keripik tempe sagu miliknya terus tumbuh hingga saat ini.
Menembus Pasar Ekspor
Keberhasilan Mariyah tak lepas dari ketekunannya menjaga kualitas. Pada suatu hari, ada seorang distributor dari Magelang mencari keripik dan datang ke Imogiri ke tempat Bu Mariyah.
Dari kenalan seorang distributor asal Magelang tersebut, ia bisa mengekspor ke Malaysia dan Hong Kong.
Tak selang beberapa waktu kemudian ada seorang distributor dari Australia bernama Amita datang untuk survei berbagai produsen keripik tempe sagu, distributor dari Australia tersebut juga memilih produk Bu Mariyah juga.
Sejak itu, ekspor pun dimulai. Bu Mariyah harus memproduksi keripik tempe sagu sesuai permintaan pasar ekspor.
“Katanya sih setelah mencicipi keripik tempe di beberapa tempat, keripik tempe tempat saya katanya lebih renyah dan gurih. Ya, alhamdulillah, tempat saya yang dipilih. Itu jadi rezeki saya,” kata Bu Mariyah.
Lebih lanjut Bu Mariyah bercerita bahwa, pasar internasional itu memiliki standar tersendiri. "Untuk yang dikirim ke Hong Kong, keripiknya tidak boleh memakai bumbu bawang, hanya garam saja," ujarnya.
Minyak gorengnya juga harus khusus minyak kelapa bukan minyak sawit. Bahkan alat untuk menggoreng keripik tempe sagu untuk pasar lokal harus dibedakan dengan alat penggorengan yang untuk pasar ekspor.
Khusus untuk Korea, sekali pengiriman bisa mencapai satu kontainer berisi 3,2 ton, dengan waktu pengiriman sekitar dua minggu baru sampai ke Korea.
Dalam setahun, lanjut Bu Mariyah, pengiriman ke Korea bisa dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun. Sedangkan untuk pengiriman ke Malaysia bisa sebulan sekali. "Sama dengan yang di Magelang. Permintaan Magelang bisa seminggu sekali adanya berapa suruh dikirim," ujar Bu Mariyah.
Sementara untuk pasar domestik, produksi harian mencapai 250 kg jika semua karyawannya masuk. Harga eceran keripik tempe sagu dipatok Rp32.000/kg, sedangkan untuk grosir Rp30.000/kg.
Pesanan keripik tempe sagu akan membludak jika memasuki bulan Rajab hingga puasa dan menjelang lebaran. Semua karyawan harus lembur untuk memenuhi pesanan baik lokal maupun untuk pasar ekspor ke Malaysia.
Dari Tuduhan Mistis hingga Inspirasi Usaha
Cepatnya pertumbuhan usaha Bu Mariyah sempat juga mengundang gunjingan warga di sekitarnya. Pernah suatu hari, ia dituduh memelihara tuyul.
“Mungkin karena usaha saya tiba-tiba ramai dan produksinya naik terus,” ujar Mariyah sambil tertawa.
Dulu, usahanya sempat memakai nama anaknya, Karomah. Namun atas saran pelanggan dan demi membawa identitas daerah, ia menggantinya menjadi "Imogiri Jaya". Harapannya, usaha ini benar-benar mengalami kejayaan.
Kini, berkat Bu Mariyah, Dusun Sungapan berkembang menjadi sentra keripik tempe sagu. Setidaknya ada tujuh pengrajin lain yang juga memproduksi keripik tempe sagu.
“Kalau bisa, ya semua ikut maju. Saya malah senang kalau banyak tetangga yag berwirausaha,” ungkapnya.
Proses Produksi yang Masih Tradisional
"Proses pembuatan keripik tempe sagu di Imogiri Jaya dimulai dari perendaman kedelai selama dua jam, lalu dicuci, direbus, dicuci lagi, dan direndam semalaman," ujar Bu Mariyah.
Setelah direndam selama semalam, kedelai kemudian dicampur tepung sagu, bahan ini dikemas dan didiamkan dua hari agar kedelai melakukan permentasi hingga menjadi tempe sagu. Tempe kemudian dipindah ke ruangan yang lebih luas dan berventilasi lebar untuk diangin-anginkan.
Proses pendinginan tempe dengan cara diangin-anginkan juga dibantu dengan kipas agar suhu ruangan tetap terjaga agar tempe cepat padat dan tidak lembap serta kemasan tempe tidak berkeringat.
Bentuk kemasan tempe memanjang sekira 30 sentimeter. Ada yang bulat memanjang ada juga yang oval memanjang.
Setelah itu tempe dibawa ke bagian mesin pemotong untuk diiris dan digoreng dua kali untuk mendapatkan kerenyahan maksimal.
Proses penggorengannya pun masih menggunakan kayu bakar. Di depan pabrik terdapat tumpukan kayu mahoni dengan bilah memanjang berukuran 2 meter dengan lebar sekira 30 senti meter.
“Kalau pakai gas, kurang panas dan keripiknya kadang jadi bantet. Kayu bakar lebih irit dan hasil penggorengannya juga lebih renyah,” jelas Bu Mariyah.
Pekerja produksi setiap hari memulai aktivitas pada jam 08.00 pagi hingga tutup pukul 16.00 WIB.
“Jika ada pesanan banyak, karyawan ya harus lembur kadang hingga pukul 18.00 WIB, ujar Bu Mariyah.
Kini, dengan ketekunan memproduksi keripik tempe sagu selama 14 tahun, Bu Mariyah telah membuktikan bahwa dari dapur desa pun, sebuah usaha kecil bisa melangkah hingga pasar internasional, dan bisa menjadi inspirasi bagi banyak pelaku UMKM lainnya.
“Kesuksesan tentu tak datang tiba-tiba. Ada suka dan duka. Tapi kalau kita tekun dan jujur, pasti ada jalan,” pungkasnya.
Tempe baik yang digoreng sebagi lauk maupun yang telah diolah menjadi camilan memang harganya murah tapi bagi Bu Mariyah tempe menjadi berkah. Karena dengan tempe Bu Mariyah telah menghidupi banyak keluarga bagi karyawannya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kisah Keripik Tempe Sagu Bu Mariyah: Dari Dapur Rumahan di Bantul Hingga ke Pasar Ekspor
Pewarta | : Eko Susanto |
Editor | : Ronny Wicaksono |