TIMES MADIUN, JAKARTA – Amerika Serikat, Jerman dan hari ini Inggris ramai-ramai mengevakuasi warganya dari Beirut, Lebanon karena situasi yang tidak stabil.
Tengah malam tadi, Inggris mendesak warganya di Lebanon untuk segera meninggalkan negara itu menyusul dimulainya serangan darat oleh Israel terhadap pasukan Hizbullah.
Amerika Serikat dan Jerman sebelumnya juga sudah memerintahkan warga negaranya untuk meninggalkan Lebanon.
"Situasi di Lebanon tidak stabil dan berpotensi memburuk dengan cepat," kata Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy dalam sebuah pernyataan hari ini.
"Sangat penting bagi anda untuk meninggalkan negara ini sekarang, karena evakuasi lebih lanjut mungkin tidak terjamin," tandas David Lammy beberapa jam lalu.
"Pemerintah Inggris telah menyewa penerbangan untuk membantu warga negara Inggris, mitra, dan tanggungan yang ingin meninggalkan Lebanon," kata Kantor Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan Inggris hari ini.
Penerbangan tersebut dijadwalkan berangkat dari Bandara Internasional Beirut-Rafic Hariri pada hari Rabu. "Kemungkinan akan lebih banyak lagi penerbangan," kata kantor tersebut dalam sebuah pernyataan.
Rencana tersebut mengikuti langkah pemerintah sebelumnya untuk meningkatkan kapasitas penerbangan komersial sehingga warga bisa pergi di tengah serangan antara Israel dan Hizbullah.
Pemerintah Inggris, yang juga telah mengirim pasukan ke wilayah tersebut juga menyerukan gencatan senjata, seperti halnya yang dilakukan Presiden AS, Joe Biden.
"Jerman juga telah mulai menerbangkan personel non-esensial dan anggota keluarga karyawan kedutaan keluar dari Israel, Lebanon, dan Tepi Barat yang diduduki," kata kantor luar negeri Jerman dalam sebuah pernyataan hari ini.
"Mengingat situasi tersebut, Kantor Luar Negeri Federal kembali menaikkan tingkat krisis untuk misi asing di Beirut, Ramallah, dan Tel Aviv pada akhir pekan dan memulai upaya penjemputan diplomatik," kata pernyataan itu.
"Ini berarti kedutaan-kedutaan besar tetap beroperasi, tetapi anggota keluarga pegawai yang ditugaskan dan organisasi perantara Jerman serta personel yang tidak penting terbang keluar," tambahnya.
"Kedutaan Besar Jerman terus mendukung warga Jerman yang tersisa di Lebanon dalam keberangkatan mereka melalui penerbangan komersial dan sarana lainnya,” katanya.
Iran Balas Dendam
Iran bersumpah pada hari Minggu akan membalas dendam atas pembunuhan pejabat tinggi Garda Revolusi oleh Israel dalam serangan besar hari Jumat di Beirut yang juga mengakibatkan terbunuhnya kepala Hizbullah Hassan Nasrallah.
"Tunggu saja," kata Panglima Angkatan Darat Iran, Mayor Jenderal Abdolrahim Mousavi mengomentari tanggapan Republik Islam terhadap rezim Israel.
"Apa yang dikatakan Israel sebagian besar didasarkan pada operasi psikologis," kata Abdolrahim Mousavi kepada wartawan, Senin (30/9/2024).
"Zionis, berusaha menampilkan citra kemenangan kepada para tuan dan rakyat mereka untuk membantu penjahat Netanyahu bertahan hidup," katanya, seraya menambahkan bahwa meskipun demikian, mereka bergerak menuju kehancuran dengan sangat cepat.
Mengacu pada pembunuhan Israel terhadap mendiang Pemimpin Hizbullah, Sayyed Hassan Nasrallah, Mousavi mengatakan bahwa darah martir Nasrallah akan mempercepat kejatuhan rezim Israel dan para pemimpinnya.
Sementara itu Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kematian Wakil Komandan Korps Garda Revolusi Islam Abbas Nilforoushan "tidak akan dibiarkan begitu saja".
"Kejahatan mengerikan yang dilakukan rezim Zionis agresor ini tidak akan dibiarkan begitu saja,” kata diplomat tinggi tersebut, menurut pernyataan kementerian luar negeri.
“Aparat diplomatik juga akan menggunakan semua kapasitas politik, diplomatik, hukum, dan internasionalnya untuk mengejar para penjahat dan pendukungnya," tambahnya.
Nilforoushan, komandan tinggi Pasukan Quds, sayap operasi luar negeri IRGC, ikut tewas dalam serangan udara Israel hari Jumat di Beirut yang juga menewaskan Pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah.
Pejabat Iran juga mengutuk keras pembunuhan Nasrallah, yang kelompok teror Lebanonnya yang kuat telah dipersenjatai dan dibiayai oleh Republik Islam selama beberapa dekade.
Wakil Kepala Peradilan Iran, Ahmad Reza Pour Khaghan mengonfirmasi kematian Nilforoushan ia gambarkan sebagai "tamu bagi rakyat Lebanon," kata kantor berita milik pemerintah IRNA.
Khaghan juga berpendapat bahwa Iran memiliki hak untuk melakukan pembalasan berdasarkan hukum internasional. Pembunuhan Nilforoushan semakin meningkatkan tekanan pada Iran untuk merespons.
Meski demikian, seperti dikatakan Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, Senin (29/9/2024), Iran tidak akan mengerahkan pasukan ke Lebanon untuk membantu Hizbullah.
Nasser Kanaani mengatakan, Iran tidak takut perang, tetapi mendukung Timur Tengah yang aman dan stabil. Pernyataan itu muncul di tengah meningkatnya serangan Israel terhadap Hizbullah yang bermarkas di Lebanon dan Houthi di Yaman.
"Teheran tidak menginginkan perang, tetapi tidak takut akan perang dan memperjuangkan Timur Tengah yang aman dan stabil," tegas kementerian tersebut.
"Tidak perlu mengirim pasukan tambahan atau sukarelawan dari Republik Islam Iran. Lebanon dan para pejuang di wilayah Palestina memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mempertahankan diri dari agresi," kata Nasser Kanaani dalam konferensi pers mingguan.
Selama beberapa minggu terakhir, Israel telah melancarkan serangan udara besar-besaran yang menargetkan Hizbullah di Lebanon dan kelompok militan lain di wilayah tersebut, termasuk di Suriah, Yaman, dan Irak.
Serangan Israel tersebut telah menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik tersebut dapat melanda seluruh Timur Tengah dan menyeret Iran dan sekutu utama Israel, Amerika Serikat ke dalam perang.
"Kami belum menerima permintaan apa pun terkait hal ini dari pihak mana pun. Sebaliknya kami diberitahu dan yakin bahwa mereka tidak membutuhkan bantuan pasukan kami," kata Kanaani kepada wartawan.
Namun, ia berjanji bahwa Israel tidak akan bisa tinggal nyaman tanpa teguran dan hukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya terhadap rakyat Iran, personel militer, dan pasukan perlawanan.
Selama seminggu terakhir saja, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) meningkatkan serangan udara di Lebanon secara signifikan, menewaskan lebih dari 1.000 orang dan melukai lebih dari 6.000 orang menurut pejabat kesehatan setempat.
Eskalasi tersebut juga memicu eksodus massal dari wilayah yang paling terdampak oleh pemboman Israel.
Bahkan negara-negara Eropa, sekutu Israel, seperti Inggris dan Jerman serta Amerika Serikat telah mengeluarkan perintah kepada warga negaranya untuk segera meninggalkan Lebanon menyusul serangan darat Israel. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: AS, Inggris dan Jerman Ramai-Ramai Evakuasi Warganya dari Lebanon
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ronny Wicaksono |